Harga Sarang Burung Walet Makin Terjun Bebas: Penyebab dan Faktor yang Membuat Petani Menjerit
Indonesia – Sarang burung walet, yang dulu dijuluki |emas putih dari langit,” kini semakin kehilangan sinarnya. Harga jualnya mengalami penurunan drastis dari tahun ke tahun, membuat para petani walet di berbagai daerah mulai mengeluh dan bahkan ada yang menutup usaha.
Pada masa kejayaannya sekitar tahun 2010-2015, sarang walet berkualitas super bisa tembus Rp20–25 juta per kilogram. Namun, kini harga di pasaran, terutama untuk kualitas menengah, ada yang jatuh di kisaran Rp7–9 juta per kilogram. Bahkan untuk kualitas rendah, harganya bisa anjlok di bawah Rp5 juta.
Penyebab dan Faktor Utama Penurunan Harga
Overproduksi dan Persaingan Internal
Jumlah rumah walet terus bertambah dari tahun ke tahun. Banyak masyarakat yang tertarik membangun rumah walet karena tergiur keuntungan besar di masa lalu. Akibatnya, pasokan sarang melimpah sementara permintaan tidak naik signifikan.
|Kalau dulu kita bisa jual langsung ke pengepul dan cepat laku, sekarang harus antre dan sering tawar-menawar lama,” ujar Pak Suryadi, petani walet asal Kalimantan.
Penurunan Permintaan dari Pasar Tiongkok
Tiongkok adalah pasar terbesar sarang walet dunia. Namun, sejak adanya kebijakan ketat impor dan regulasi kesehatan pangan di negara tersebut, banyak eksportir dari Indonesia yang kesulitan mengirim. Apalagi dengan persaingan dari Malaysia dan Vietnam yang memiliki sistem ekspor lebih rapi.
Masalah Kualitas dan Standarisasi
Tidak semua petani mampu memproduksi sarang walet yang memenuhi standar higienitas ekspor. Adanya sarang berwarna kekuningan, bercampur bulu, atau berbau membuat harganya jatuh. Pasar global kini lebih memilih sarang putih bersih dengan kadar air rendah.
Fluktuasi Ekonomi Global dan Geopolitik
Ketegangan politik internasional, pandemi COVID-19, hingga perang di beberapa kawasan membuat perdagangan antarnegara terganggu. Daya beli konsumen kelas atas di Tiongkok pun ikut menurun.
Permainan Harga oleh Tengkulak dan Pengepul Besar
Beberapa pelaku besar di industri ini diduga sengaja menekan harga di tingkat petani untuk mendapatkan keuntungan lebih besar. Karena petani sulit mengekspor sendiri, mereka terpaksa menjual ke pengepul walau harga sangat rendah.
Dampak bagi Petani Walet
Banyak petani mulai mengurangi perawatan rumah walet karena biaya listrik, perbaikan, dan suara panggil tidak sebanding dengan hasil penjualan. Beberapa rumah walet bahkan dibiarkan kosong.
|Biaya operasional rumah walet bisa jutaan per bulan, kalau harga segini jelas rugi,” keluh Ibu Ratna, peternak walet di Sumatera.
Harapan dan Solusi
Agar industri ini kembali bangkit, para pelaku usaha menilai perlu adanya:
Standarisasi nasional untuk memastikan kualitas sarang walet memenuhi syarat ekspor.
Negosiasi perdagangan antar pemerintah untuk mempermudah ekspor ke Tiongkok dan negara lain.
Pelatihan petani dalam teknik panen, pembersihan, dan penyimpanan yang sesuai standar internasional.
Diversifikasi pasar ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Timur Tengah.
Tren Penurunan Harga (2018–2025)
2018–2022: Berdasarkan data Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia (PPSBI), harga rata-rata ekspor sarang walet turun dari US$2.000 per kg (~Rp30 juta) menjadi US$1.336 (~Rp20,4 juta)
2023: Volume ekspor mencapai 1.335 ton dengan nilai US$633 juta (~Rp9,8 triliun), setara dengan ~Rp7,35 juta per kg
Pasaman Barat (2025): Sarang walet putih yang dulu mencapai Rp9 juta/kg kini anjlok menjadi sekitar Rp4 juta/kg. Jenis lain seperti sarang hitam juga turun dari Rp6,5 juta ke Rp4 juta/kg
Kotawaringin Barat (2025): Penurunan harga diamati sejak pertengahan 2024, dari Rp12 juta menjadi hanya Rp3–4 juta/kg grade A. Banyak peternak yang mulai frustasi dan mempertimbangkan menutup usaha
Cempaga, Kotim (2024): Harga “cong” (berkualitas baik) turun dari sekitar Rp8–8,5 juta menjadi Rp6–6,5 juta/kg
Faktor Penyebab Penurunan Harga yang Menerpa Industri
Turunnya Daya Beli Pasar Pengimpor Utama (Tiongkok dkk.)
Penurunan kemampuan beli konsumen, ditambah kebijakan impor yang lebih ketat, menggerus permintaan ekspor, sehingga menekan harga jual.
Ketatnya Regulasi dan Penutupan Pasar Ekspor
Banyak eksportir menghadapi hambatan regulasi yang menyebabkan pasar utama—seperti Tiongkok—tidak stabil. Penutupan pasar dan aturan baru membuat nilai jual jatuh.
Kondisi Pasokan dan Produksi
Beberapa daerah mengalami penurunan populasi walet atau hasil panen berkurang karena cuaca ekstrem, kualitas rendah, atau sarang tercampur telur dan anakan
Fluktuasi Ekspor dan Rantai Pasokan Global
Meskipun nilai ekspor nasional meningkat, volume ekspor ke beberapa negara seperti Hong Kong, Singapura menurun secara fluktuatif karena faktor global seperti pandemi dan regulasi kesehatan
Kualitas dan Standarisasi
Sarang yang tidak bersih atau tidak memenuhi standar internasional dihargai lebih rendah sehingga memicu turunnya nilai rata-rata jual
Dampak Terhadap Pelaku Industri
Peternak dan pengusaha skala kecil menjerit karena biaya operasional rumah walet sulit ditutupi oleh harga jual saat ini (Rp3-4 juta/kg)
Penurunan insentif dan keengganan untuk membangun/usaha baru, karena risiko kegagalan usaha makin tinggi dan margin keuntungan semakin menipis.
Jalan Keluar dan Harapan
Perlu diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara seperti ASEAN, Timur Tengah, atau Barat, guna mengurangi ketergantungan pada Tiongkok.
Standarisasi kualitas dan sertifikasi ekspor sangat dibutuhkan untuk menaikkan harga jual dan membuka akses pasar stabil.
Dukungan pemerintah dalam bentuk fasilitasi ekspor, pelatihan teknis, serta kebijakan perdagangan yang berpihak kepada peternak.
Inovasi dalam budidaya dan pengolahan untuk meningkatkan efisiensi dan mutu sarang, sehingga bisa dijual dengan harga lebih baik.
ремонт водонагревателя москва https://master-remonta-boylerov.ru
spxwoeb Unlock your opportunity — click here now! http://suaraburungwalet.com/QBhX0y