Setiap pagi, langit pesisir Kutai Kartanegara dipenuhi tarian burung walet. Lincah, gesit, dan setia kembali ke sarang lamanya. Namun di balik gemulai mereka yang membelah udara, tersembunyi luka-luka kecil yang tak terlihat luka dari ketakutan manusia, dari bisnis yang semakin ganas, dan dari rasa bersaing yang mengikis hati nurani.
Ketakutan yang Melahirkan Kekejaman
Di banyak daerah di Indonesia, bisnis burung walet berkembang pesat. Setiap tahun, ratusan rumah walet baru dibangun, bersaing menarik burung-burung kecil itu agar bersarang di tempat mereka. Dalam kondisi ini, para petani lama merasa terancam. Mereka takut burung walet ‘pindah rumah’ ke bangunan yang lebih baru, lebih tinggi, atau lebih canggih.
“Kalau anak walet dibiarkan hidup, nanti dia baliknya ke tempat lain. Lebih baik dibuang sekalian, biar induknya balik bikin sarang baru di tempat kita,” ujar seorang petani walet, yang minta namanya dirahasiakan.
Dengan alasan mempertahankan bisnis dan takut kalah saing, banyak petani walet mempercepat panen, bahkan dengan cara merampas sarang berisi anak burung. Anakan itu, belum bisa terbang, tak berdaya dibuang, diinjak, atau dibiarkan mati di lantai bangunan yang sunyi.
Ketika Persaingan Menghapus Rasa
Tindakan ini bukan sekadar melanggar etika, tapi menggambarkan bagaimana bisnis bisa mengalahkan belas kasih. Burung walet, yang awalnya datang karena merasa aman, kini menjadi korban ketakutan manusia sendiri.
Rina, seorang relawan konservasi satwa di Kalimantan Barat, pernah menangis saat melihat lantai rumah walet penuh dengan bangkai anak burung. “Saya tidak habis pikir. Ini bukan panen, ini pembantaian kecil-kecilan yang terjadi tiap minggu,” katanya lirih.
Bisnis atau Bertanggung Jawab?
Kondisi ini memunculkan dilema. Di satu sisi, sarang burung walet memberikan penghasilan besar bagi ribuan keluarga. Tapi di sisi lain, tanpa regulasi dan kesadaran, praktik panen ini bisa menghancurkan populasi walet secara perlahan dan mencemari citra petani walet di mata dunia.
Beberapa petani mulai beralih ke metode panen ramah walet:
- Menunggu hingga anakan bisa terbang.
- Memastikan hanya sarang kosong yang dipanen.
- Membangun komunitas petani yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan.
“Saya dulu panik kalau lihat rumah walet baru di dekat saya. Tapi sekarang, saya ajak kerja sama. Kalau semua rebutan, habis juga burungnya,” ujar Pak Haris, petani walet dari Bone, Sulawesi Selatan.
Langit Tak Lagi Damai
Persaingan memang bisa memacu kemajuan. Tapi jika dilakukan tanpa hati, ia bisa mengubah manusia menjadi makhluk yang lebih liar dari burung. Burung walet datang karena merasa aman. Tapi jika anak-anak mereka terus dibuang, apa alasan mereka untuk kembali?
Bukan rumah beton tinggi atau suara rekaman yang membuat walet bersarang tapi rasa aman. Dan rasa aman itu hanya bisa lahir dari kesadaran bahwa rezeki tidak harus diraih dengan merampas nyawa.
Burung walet mengajari kita tentang kesetiaan dan keseimbangan alam. Jika kita kehilangan keduanya, mungkin bukan burung yang punah terlebih dulu tapi rasa manusiawi dalam diri kita.