Di sebuah sudut kota kecil di pesisir Sumatera, langit pagi dipenuhi kicauan burung walet yang beterbangan di antara bangunan tinggi berjeruji sempit—rumah walet, begitu orang menyebutnya. Namun di balik suara merdu dan siluet yang menari di udara, tersimpan cerita yang tidak semua orang mau dengar: tentang bagaimana sebagian petani burung walet merampas sarang, bahkan membuang anak-anak burung yang belum bisa terbang.
Sarang Mahal, Tapi Penuh Derita
Sarang burung walet bukan sembarang sarang. Ia terbentuk dari air liur burung yang mengeras — bening, ringan, dan dipercaya memiliki khasiat kesehatan yang luar biasa. Harga pasarannya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram. Tak heran jika permintaan terus meningkat, dan dengan itu, keserakahan pun ikut tumbuh.
Di banyak tempat, sarang dipanen bukan setelah anak burung tumbuh besar, melainkan saat mereka masih merah, lemah, dan bahkan belum membuka mata. Sarang diambil dengan paksa, dan anak-anak burung itu… dilempar begitu saja ke lantai, ke tumpukan kotoran, atau ke luar bangunan. Mereka mati dalam diam — tak bersuara, tak dianggap.
Hilangnya Rasa Kasih
“Bagi sebagian orang, ini hanya soal bisnis. Tapi bagi saya, ini kejam,” kata Rina, seorang relawan pecinta burung yang sempat menyaksikan praktik panen dini. “Bayangkan kalau itu anak ayam, atau anak kucing. Kita akan marah. Tapi karena ini burung kecil yang tak kita kenal, kita pura-pura tak tahu.”
Praktik seperti ini bukan hanya tidak etis, tapi juga mengancam keberlangsungan populasi walet dalam jangka panjang. Burung walet adalah hewan liar, bukan ternak. Mereka datang karena merasa aman. Jika anak-anaknya terus dibuang, tak ada alasan bagi mereka untuk kembali.
Bisa Berbeda, Jika Mau Berubah
Di sisi lain, ada juga petani walet yang mulai sadar. Mereka menunda panen hingga anak walet bisa terbang. Beberapa bahkan memasang kamera pengawas untuk memastikan prosesnya etis. Kesadaran ini tumbuh lambat, tapi nyata.
“Kami belajar bahwa menjaga burung walet artinya menjaga masa depan usaha kami juga,” ujar Pak Amin, peternak walet dari Sulawesi Selatan. “Kalau kita sabar, rezeki tetap datang.”
Bukan Sekadar Komoditas
Burung walet bukan sekadar penghasil sarang bernilai jutaan rupiah. Mereka adalah makhluk hidup, bagian dari ekosistem, dan memiliki hak untuk hidup. Saat manusia membuang anak burung walet demi keuntungan, yang hilang bukan hanya nyawa—tapi juga rasa perikemanusiaan.
Kita boleh berdagang, tapi jangan sampai kita menggadaikan nurani. Karena saat burung walet berhenti datang, bukan hanya suara di langit yang hilang—tapi juga cermin kemanusiaan kita yang pecah.