Harga Sarang Burung Walet Terus Turun Sejak 2011 Petani Walet Menjerit

Indonesia pernah begitu dibanggakan sebagai raja ekspor sarang burung walet dunia. Tapi di balik status megah itu, sejak tahun 2011, petani walet di lapangan pelan-pelan mulai kehilangan senyum.

Harga sarang burung walet yang dulu bisa menyentuh Rp25–30 juta per kilogram pada masa jayanya, kini di sebagian besar daerah hanya dihargai Rp5–7 juta per kilogram—bahkan bisa lebih rendah jika kualitasnya standar.

Awal Kejatuhan: 2011 Jadi Titik Balik

Tahun 2011 dianggap sebagai tahun terakhir di mana harga sarang walet stabil tinggi. Setelah itu, pasar mulai melambat. Harga mulai turun bertahap setiap tahun, dan puncaknya terjadi pada periode 2016–2018 saat ekspor ke Tiongkok banyak tersendat karena regulasi ketat dan ketidakpastian sertifikasi.

Sejak itu, harga sarang walet tak pernah benar-benar pulih.


Apa Penyebab Penurunan Harga?

  1. Overproduksi
    Semakin banyak petani membangun rumah walet karena tergiur cuan besar. Akibatnya, produksi berlebih membuat pasar jenuh.
  2. Ketergantungan pada Tiongkok
    Lebih dari 70% ekspor sarang burung walet Indonesia ditujukan ke Tiongkok. Ketika negara itu menutup akses karena isu karantina dan kesehatan, stok menumpuk, harga pun jatuh.
  3. Regulasi dan Sertifikasi
    Petani kecil sering kesulitan memenuhi persyaratan sertifikasi ekspor, terutama terkait kebersihan, sanitasi, dan dokumentasi karantina. Akhirnya, mereka hanya bisa menjual ke pengepul dengan harga rendah.
  4. Minimnya Hilirisasi
    Sarang burung walet Indonesia masih dijual mentah atau setengah jadi. Tanpa nilai tambah seperti produk olahan atau kemasan premium, harga jual tidak bisa didongkrak.

Suara dari Lapangan

“Dulu setahun bisa beli motor dari hasil walet. Sekarang, dapat buat bayar listrik saja sudah syukur,” kata Pak Supri, petani walet di Kalimantan Selatan.

Banyak petani akhirnya memilih mengosongkan rumah walet mereka karena biaya operasional (listrik, suara panggil, pembersihan) tak sebanding dengan hasil panen.

Meski harga terus menurun, pemerintah mulai melirik potensi hilirisasi. Produk turunan walet seperti minuman kesehatan, kosmetik, dan suplemen mulai dikenalkan di pasar domestik. Beberapa koperasi juga sudah mulai mengekspor sarang walet dalam bentuk minuman siap saji.

Wakil Menteri Pertanian bahkan menargetkan agar pasar Eropa dan Amerika dibuka lebih luas, agar petani tidak hanya bergantung pada pasar Tiongkok.

Sarang walet tetap punya potensi emas. Tapi tanpa dukungan penuh dari hulu ke hilir—dari petani kecil hingga jalur ekspor—yang terjadi hanya cerita tentang kejayaan masa lalu.

Petani walet tidak butuh harapan palsu, mereka butuh harga yang masuk akal dan sistem perdagangan yang adil.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *