Di sebuah kota kecil di Kalimantan Barat, Pak Hasan duduk termenung di depan rumah walet miliknya. Sudah lebih dari dua bulan sarang-sarang itu menumpuk dalam ember plastik di gudangnya. Dulu, tiap panen membawa harapan besar—membayar sekolah anak, membeli pupuk, atau memperbaiki atap rumah. Tapi kini, harga sarang walet anjlok drastis, dan Pak Hasan mulai bertanya-tanya: apakah semuanya masih layak diperjuangkan?
Dari Emas Putih Menjadi Beban
Sarang burung walet pernah dijuluki “emas putih dari langit”. Dulu, satu kilogram sarang walet berkualitas tinggi bisa dihargai hingga Rp 20 juta bahkan lebih, terutama jika diekspor ke pasar Tiongkok. Namun sejak beberapa tahun terakhir, harga itu terjun bebas, bahkan di beberapa daerah hanya mencapai Rp 5–7 juta/kg, atau lebih rendah jika kualitasnya menurun.
Bagi petani seperti Pak Hasan, yang menggantungkan hidup pada hasil panen tiap dua bulan, ini adalah bencana perlahan. “Biaya listrik, perawatan rumah walet, belum lagi pajak dan cicilan bank… Tapi harga malah makin jatuh,” katanya sambil memegang sarang yang tak jadi dijual.
Apa yang Menyebabkan Harga Anjlok?
Turunnya harga sarang burung walet di Indonesia bukan tanpa sebab. Ada beberapa faktor utama yang memengaruhinya:
- Overproduksi di Dalam Negeri
Semakin banyak orang membangun rumah walet tanpa perencanaan jangka panjang, membuat pasokan sarang membanjiri pasar lokal. Ketika stok berlebih dan permintaan stagnan, harga pasti jatuh. - Ketergantungan Ekspor ke Tiongkok
Lebih dari 90% sarang walet Indonesia diekspor ke Tiongkok. Ketika negara itu menerapkan regulasi impor yang ketat, termasuk soal kebersihan dan legalitas, banyak sarang dari Indonesia tertahan—tidak bisa masuk pasar. - Minimnya Diversifikasi Pasar
Indonesia belum memiliki pasar domestik yang kuat untuk produk walet. Akibatnya, ketika ekspor macet, tidak ada tempat lain untuk menjual. - Persaingan Antar Negara
Negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam mulai meningkatkan produksi dan kualitas sarang walet mereka. Ini menambah tekanan di pasar internasional dan membuat harga terus ditekan. - Pandemi dan Krisis Global
Efek pandemi COVID-19, ditambah konflik global, memengaruhi daya beli dan distribusi produk mewah seperti sarang walet. Masyarakat Tiongkok—pasar utama—lebih berhati-hati dalam belanja.
Petani Kecil yang Jadi Korban
Para pengusaha besar mungkin masih bisa bertahan. Tapi ribuan petani kecil seperti Pak Hasan, Ibu Suryati di Jember, dan puluhan lainnya di Bone, adalah pihak yang paling terdampak. Mereka tak punya akses langsung ke eksportir besar, tak punya gudang pendingin, dan tak bisa menyimpan sarang dalam waktu lama.
“Kadang kami jual rugi, kadang kami tahan sampai busuk,” kata Bu Suryati, yang hanya punya dua lantai rumah walet sederhana. “Sementara biaya jalan terus.”
Harapan yang Masih Bisa Diperjuangkan
Meski keadaan sulit, ada sinar harapan. Beberapa komunitas petani walet mulai membentuk koperasi agar bisa menjual dalam jumlah besar dan langsung ke eksportir. Pemerintah juga mulai mendorong sertifikasi sarang walet dan diversifikasi pasar ke Timur Tengah dan Eropa.
Bahkan ada pelaku usaha kreatif yang mengolah sarang walet menjadi produk olahan siap konsumsi di dalam negeri—sup, minuman kolagen, hingga kosmetik.
“Saya percaya sarang walet tetap punya nilai,” kata Pak Hasan. “Tapi kami butuh dukungan. Kalau kami dibiarkan sendiri, bisa-bisa kami gulung tikar.”
Sarang yang Dulu Jadi Harapan, Kini Ujian
Anjloknya harga sarang burung walet bukan sekadar soal pasar. Ia adalah cerita tentang orang-orang kecil yang menggantungkan hidup pada langit, lalu kehilangan cahaya harapan. Di tengah rumah-rumah walet megah yang menjulang, banyak hati para petani kecil yang kini justru runtuh.
Semoga ke depan, bukan hanya harga yang kembali naik — tapi juga martabat para petani walet yang selama ini menjaga warisan langit itu dengan sabar.